Beranda | Artikel
Wahai Putraku, Naiklah Bersama Kami
Jumat, 3 Juni 2011

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan banyak pelajaran bagi umat manusia dengan kisah-kisah umat terdahulu sebelum mereka. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad dan pengikut setia ajarannya hingga kiamat tiba. Amma ba’du.

Di antara kisah yang menyentuh hati adalah kisah dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salam. Sebuah kisah yang amat menakjubkan. Kisah perjalanan hidup seorang manusia pilihan yang mengajak kaumnya untuk taat kepada Allah dan mentauhidkan-Nya, akan tetapi kebanyakan mereka justru mencemooh dan menolak ajakannya.

Sebuah kisah yang mencerminkan kesabaran pembela kebenaran. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, agar kamu -wahai Nuh- memperingatkan kaummu sebelum siksaan yang pedih menimpa mereka. Nuh berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan untuk kalian. Hendaklah kalian beribadah kepada Allah, bertakwa kepada-Nya dan taat kepadaku. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian dan menangguhkan  kalian hingga waktu yang telah ditentukan. Sesungguhnya ketentuan ajal dari Allah itu apabila telah datang maka tidak bisa lagi ditangguhkan seandainya kalian mengetahui’. Nuh berkata, ‘Wahai Rabbku, sungguh aku telah mendakwahi kaumku siang dan malam. Ternyata dakwahku tidak menambah apa-apa selain mereka justru semakin bertambah lari…” (QS. Nuh: 1-6)

Kisah tentang dakwah yang mendapatkan rintangan dan cemoohan.. Dakwah yang mengajak kepada keselamatan, namun disambut dengan tanggapan yang sangat menyakitkan! Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata), ‘Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu. Agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan. Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya, ‘Kami tidak melihat kamu melainkan (sebagai) orang biasa seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikutimu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki suatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” (QS. Hud: 25-27)

Nabi Nuh ‘alaihis salam mengajak kaumnya untuk bertauhid, akan tetapi mereka justru menolak ajakannya. Mereka tetap bersikeras mempertahankan budaya syirik yang telah mendarah daging dalam kehidupannya. Allah menceritakan keluhan Nabi Nuh ‘alaihis salam (yang artinya), “Nuh berkata, ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya mereka durhaka kepadaku dan justru mengikuti orang-orang yang tidak mendatangkan apa-apa dengan harta dan anak-anaknya selain kerugian. Mereka pun melakukan makar yang besar. Mereka berkata: Janganlah kalian tinggalkan sesembahan-sesembahan kalian, dan jangan sampai kalian tinggalkan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr…” (QS. Nuh: 21-23).

Adakah kezaliman dan kedurhakaan yang lebih besar daripada syirik? Adakah ajakan yang lebih sesat daripada ajakan untuk menolak tauhid dan melestarikan syirik? Maha suci Allah… Sungguh, Nabi Nuh ‘alaihis salam telah menunaikan tugasnya untuk berdakwah tauhid kepada kaumnya. Sebagaimana yang Allah tugaskan kepada segenap rasul yang diutus-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut (sesembahan selain Allah).” (QS. an-Nahl: 36)

Hingga, tibalah saatnya Allah memerintahkan Nabi Nuh ‘alaihis salam untuk membuat perahu sebelum datangnya banjir maha dahsyat yang akan menenggelamkan orang-orang yang durhaka. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia pun tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh (950 tahun), sehingga banjir besar pun menelan mereka sedangkan mereka adalah orang-orang yang berbuat kezaliman. Maka Kami selamatkan dia dan orang-orang yang menaiki bahtera itu, dan Kami jadikan ia sebagai bahan pelajaran bagi semua manusia.” (QS. al-Ankabut: 14)

Proyek bahtera keselamatan ini justru membuat Nabi Nuh ‘alaihis salam diejek oleh para pembesar kaumnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Buatlah bahtera dengan pengawasan dan wahyu dari Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan-Ku mengenai nasib orang-orang yang zalim itu, sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. Dan dia [Nuh] pun membuat bahtera itu, dan setiap kali para pembesar kaumnya melewatinya, mereka pun mencemooh perbuatannya. Nuh pun berkata, ‘Jika kalian mengejek kami sekarang maka kelak kami pun akan mengejek kalian sebagaimana kalian mengejek kami. Kalian pun kelak akan tahu siapakah yang akan mendapati siksaan yang menghinakan dirinya dan siapakah yang akan tertimpa azab yang kekal’.” (QS. Hud: 37-39)

Dan, ketika banjir besar itu datang, Nabi Nuh ‘alaihis salam telah menaikkan para pengikutnya yang setia ke atas bahtera. Memang tidak ada yang beriman kepada beliau kecuali segelintir orang saja. Sebagai seorang ayah, Nabi Nuh ‘alaihis salam tentu sangat ingin menyelamatkan putranya –yang bernama Yam, anaknya yang keempat, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah [2/468]– dari timpaan azab.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan bahtera itu pun berlayar membawa mereka (Nuh dan pengikutnya) di tengah gelombang  yang datang laksana gunung. Dan Nuh memanggil putranya yang berada di tempat yang jauh terpencil, ‘Wahai putraku, naiklah bersama kami. Janganlah kamu berada bersama orang-orang kafir.’.” (QS. Hud: 42)

Lihatlah kasih sayang seorang ayah yang salih ini kepada putranya… Kasih sayang sejati seorang ayah yang menginginkan putranya selamat dari siksaan Allah. Kasih sayang yang menuntut sang ayah untuk mengajak putranya kepada kebenaran. Bukan kasih sayang palsu yang membiarkan sang anak larut dalam kebatilan… Seorang ayah yang menghendaki putranya menjadi hamba yang taat kepada Allah dan mengagungkan perintah-perintah-Nya..

Akan tetapi, sungguh disayangkan ternyata ajakan yang tulus ini disambut dengan pembangkangan. Allah ta’ala menceritakan (yang artinya), “Dia [anaknya] berkata, ‘Aku akan berlindung ke gunung yang akan menyelamatkanku dari terpaan air.’ Nuh berkata, ‘Tidak ada yang selamat pada hari ini dari hukuman Allah kecuali orang yang dirahmati.’ Gelombang itu pun memisahkan mereka berdua, dan putranya termasuk golongan yang ditenggelamkan.” (QS. Hud: 43)

Sang anak yang kafir ini mengira bahwa dengan lari ke puncak gunung bisa menyelamatkan dirinya dari ditenggelamkan oleh air bah yang sangat besar itu. Padahal, pada hari itu hanya orang-orang yang taat kepada rasul saja yang selamat, karena mereka telah menempuh jalan menuju rahmat Allah ta’ala. Adapun orang-orang yang dengan sengaja menentang rasul setelah tampak jelas petunjuk bagi mereka, maka kehancuran itulah kesudahan yang akan mereka temukan.

Semoga kisah ini bisa menjadi pendorong bagi kita untuk bersabar dalam mendakwahkan kebenaran, terus berusaha menyebarkan dakwah walaupun harus mendapatkan cemoohan. Hidayah di tangan Allah, adapun kita sekedar menyampaikan saja. Kita pun harus meyakini bahwa taat kepada rasul adalah sumber kebahagiaan dan keselamatan, meskipun sebagian orang (baca: orang kafir dan munafik) menganggapnya sebagai kebodohan!


Artikel asli: http://abumushlih.com/wahai-putraku-naiklah-bersama-kami.html/